Sejarah
Manusia Purba
Pembabakan prasejarah
berdasarkan ilmu arkeologi ini bertujuan untuk mengetahui usia manusia purba
berdasarkan peninggalan benda-benda purbakala. Benda-benda tersebut dapat
berupa perkakas rumah tangga, patung, coretan di gua-gua, dan fosil purba. Manusia
purba menggunakan alat-alat untuk memenuhi kebutuhannya seperti mencari dan
mengolah makanan dengan menggunakan perkakas dari batu atau benda-benda alam
lainnya yang keras seperti kayu dan tulang.
A.
Zaman Paleolitikum
Zaman Palaeolitikum artinya zaman
batu tua. Zaman ini ditandai dengan penggunaan perkakas yang bentuknya sangat
sederhana dan primitif. Ciri-ciri kehidupan manusia pada zaman ini, yaitu hidup
berkelompok; tinggal di sekitar aliran sungai, gua, atau di atas pohon; dan
mengandalkan makanan dari alam dengan cara mengumpulkan (food gathering) serta
berburu. Maka dari itu, manusia purba selalu berpindah-pindah dari satu tempat
ke tempat yang lain (nomaden).
Di Indonesia, manusia purba yang
hidup pada masa ini adalah manusia setengah kera yang disebut Pithecanthropus
erectus, Pithecanthropus robustus, Meganthropus palaeojavanicus. Juga
selanjutnya hidup beberapa jenis homo (manusia), di antaranya Homo soloensis
dan Homo wajakensis
B. Zaman Mezolitikum
Zaman Mezolitikum artinya zaman batu
madya (mezo) atau pertengahan. Zaman ini disebut pula zaman ”mengumpulkan
makanan (food gathering) tingkat lanjut”, yang dimulai pada akhir zaman es,
sekitar 10.000 tahun yang lampau. Para ahli memperkirakan manusia yang hidup
pada zaman ini adalah bangsa Melanesoide yang merupakan nenek moyang orang
Papua, Semang, Aeta, Sakai, dan Aborigin. Sama dengan zaman Palaeolitikum,
manusia zaman Mezolitikum mendapatkan makanan dengan cara berburu dan menangkap
ikan. Mereka tinggal di gua-gua di bawah bukit karang (abris souche roche),
tepi pantai, dan ceruk pegunungan. Gua abris souche roche menyerupai ceruk
untuk dapat melindungi diri dari panas dan hujan.
Hasil peninggalan budaya manusia
pada masa itu adalah berupa alat-alat kesenian yang ditemukan di gua-gua dan
coretan (atau lukisan) pada dinding gua, seperti di gua Leang-leang, Sulawesi
Selatan, yang ditemukan oleh Ny. Heeren Palm pada 1950. Van Stein Callenfels
menemukan alat-alat tajam berupa mata panah, flakes, serta batu penggiling di
Gua Lawa dekat Sampung, Ponorogo, dan Madiun.
Selain itu, hasil peninggalannya
ditemukan di tempat sampah berupa dapur kulit kerang dan siput setinggi 7 meter
di sepanjang pantai timur Sumatera yang disebut kjokkenmoddinger. Peralatan
yang ditemukan di tempat itu adalah kapak genggam Sumatera, pabble culture, dan
alat berburu dari tulang hewan.
C. Zaman Neolitikum
Zaman Neolitikum artinya zaman batu
muda. Di Indonesia, zaman Neolitikum dimulai sekitar 1.500 SM. Cara hidup untuk
memenuhi kebutuhannya telah mengalami perubahan pesat, dari cara food gathering
menjadi food producting, yaitu dengan cara bercocok tanam dan memelihara
ternak. Pada masa itu manusia sudah mulai menetap di rumah panggung untuk
menghindari bahaya binatang buas.
Manusia pada masa Neolitikum ini pun
telah mulai membuat lumbung-lumbung guna menyimpan persediaan padi dan gabah.
Tradisi menyimpan padi di lumbung ini masih bisa dilihat di Lebak, Banten.
Masyarakat Baduy di sana begitu menghargai padi yang dianggap pemberian Nyai
Sri Pohaci. Mereka tak perlu membeli beras dari pihak luar karena
menjualbelikan padi dilarang secara hukum adat. Mereka rupanya telah
mempraktikkan swasembada pangan sejak zaman nenek moyang.
Pada zaman ini, manusia purba
Indonesia telah mengenal dua jenis peralatan, yakni beliung persegi dan kapak
lonjong. Beliung persegi menyebar di Indonesia bagian Barat, diperkirakan
budaya ini disebarkan dari Yunan di Cina Selatan yang berimigrasi ke Laos dan
selanjutnya ke Kepulauan Indonesia. Kapak lonjong tersebar di Indonesia bagian
timur yang didatangkan dari Jepang, kemudian menyebar ke Taiwan, Filipina,
Sulawesi Utara, Maluku, Irian dan kepulauan Melanesia. Contoh dari kapak
persegi adalah yang ditemukan di Bengkulu, terbuat dari batu kalsedon; berukuran
11,7×3,9 cm, dan digunakan sebagai benda pelengkap upacara atau bekal kubur.
Sedangkan kapak lonjong yang ditemukan di Klungkung, Bali, terbuat dari batu
agats; berukuran 5,5×2,5 cm; dan digunakan dalam upacara-upacara terhadap roh
leluhur. Selain itu ditemukan pula sebuah kendi yang dibuat dari tanah liat;
berukuran 29,5×19,5 cm; berasal dari Sumba, Nusa Tenggara Timur. Kendi ini
digunakan sebagai bekal kubur.
D. Zaman Megalitikum
Zaman Megalitikum artinya zaman batu
besar. Pada zaman ini manusia sudah mengenal kepercayaan animisme dan
dinamisme. Animisme merupakan kepercayaan terhadap roh nenek moyang (leluhur)
yang mendiami benda-benda, seperti pohon, batu, sungai, gunung, senjata tajam.
Sedangkan dinamisme adalah bentuk kepercayaan bahwa segala sesuatu memiliki
kekuatan atau tenaga gaib yang dapat memengaruhi terhadap keberhasilan atau
kegagalan dalam kehidupan manusia. Dari hasil peninggalannya, diperkirakan
manusia pada Zaman Megalitikum ini sudah mengenal bentuk kepercayaan rohaniah,
yaitu dengan cara memperlakukan orang yang meninggal dengan diperlakukan secara
baik sebagai bentuk penghormatan.
Adanya kepercayaan manusia purba
terhadap kekuatan alam dan makhluk halus dapat dilihat dari penemuan
bangunan-bangunan kepercayaan primitif. Peninggalan yang bersifat rohaniah pada
era Megalitikum ini ditemukan di Nias, Sumba, Flores, Sumatera Selatan,
Sulawesi Tenggara dan Kalimantan, dalam bentuk menhir, dolmen, sarkofagus,
kuburan batu, punden berundakundak, serta arca. Menhir adalah tugu batu sebagai
tempat pemujaan; dolmen adalah meja batu untuk menaruh sesaji; sarkopagus
adalah bangunan berbentuk lesung yang menyerupai peti mati; kuburan batu adalah
lempeng batu yang disusun untuk mengubur mayat; punden berundak adalah bangunan
bertingkat-tingkat sebagai tempat pemujaan; sedangkan arca adalah perwujudan
dari subjek pemujaan yang menyerupai manusia atau hewan.
Manusia purba Indonesia hanya mengalami Zaman Perunggu tanpa melalui zaman tembaga.
Kebudayaan Zaman Perunggu merupakan hasil asimilasi dari antara masyarakat asli
Indonesia (Proto Melayu) dengan bangsa Mongoloid yang membentuk ras Deutero
Melayu (Melayu Muda). Disebut zaman perunggu karena pada masa ini manusianya
telah memiliki kepandaian dalam melebur perunggu. Di kawasan Asia Tenggara,
penggunaan logam dimulai sekitar tahun 3000-2000 SM. Masa penggunaan logam,
perunggu, maupun besi dalam kehidupan manusia purba di Indonesia disebut masa
Perundagian. Alat-alat besi yang banyak ditemukan di Indonesia berupa alat-alat
keperluan sehari-hari, seperti pisau, sabit, mata kapak, pedang, dan mata
tombak.
Pembuatan alat-alat besi memerlukan
teknik dan keterampilan khusus yang hanya mungkin dimiliki oleh sebagian
anggota masyarakat, yakni golongan undagi. Di luar Indonesia, berdasarkan
bukti-bukti arkeologis, sebelum manusia menggunakan logam besi mereka telah
mengenal logam tembaga dan perunggu terlebih dahulu. Mengolah bijih menjadi
logam lebih mudah untuk tembaga daripada besi.